Gagalnya Mitigasi Bencana Indonesia
Tahun 2018 sudah berlalu dengan beberapa fenomena yang berubah menjadi bencana melanda Indonesia.
Terakhir tepat di penghujung tahun 2018 longsor terjadi di Sukabumi Jawa Barat dan melenyapkan puluhan rumah, sampai saat ini proses evakuasi masih dilakukan.
Beberapa minggu dan bulan ke belakang fenomena alam terjadi mulai dari gempa di Lombok, gempa dan tsunami di Palu sampai tsunami di Anyer.
Semua kejadian tersebut memakan korban jiwa yang tidak bisa dibilang sedikit, ditambah lagi infrastruktur yang luluh lantah. Kerugian pasti triliunan rupiah dan perlu beberapa tahun untuk rekonstruksi.
Lalu bagaimana sebenarnya mitigasi bencana di negara kita?. Saya kira sampai saat ini istilah tersebut hanya sebatas slogan saja. Coba pas tsunami di Anyer kemarin, tidak ada sama sekali sirene peringatan tsunami dan orang-orang tentu tidak tahu apa yang akan terjadi.
Lantas setelah itu pihak terkait memberikan pernyataan bahwa memang alat pendeteksi tsunami dicuri/rusak lah/tidak punya alat deteksi tsunami akibat vulkanik. Pernyataan tersebut sudah menandakan bahwa Indonesia sudah gagal secara masif dan sistemik dalam mitigasi bencana.
Kita terlena dengan megahnya pembangunan infrastruktur ekonomi, bisnis namun untuk urusan nyawa kita abai. Takdir kita berada di Ring of Fire lalu mengapa hal tersebut diabaikan?. Dari sisi manajemen ruang, masih banyak lokasi rawan bencana tapi dibangun tidak sesuai peruntukan.
Okelah kalau memang itu buat bisnis, ekonomi tapi solusinya kenapa tidak diberikan akses bagi masyarakat untuk menyelamatkan diri?. Tiga bencana geologi tahun 2018 sudah cukup bagi kita untuk introspeksi dalam hal memahami hakikat ruang Indonesia. Gambar: Republika
Kalau boleh saya berargumen, saya yakin mayoritas masyarakat tidak peduli dengan ancaman dari sebuah bencana geologi apalagi masyarakat kurang berpendidikan.
Mereka hanya memikirkan tentang bagaimana cara menyambung nyawa, ekonomi. Lagi-lagi kemiskinan menjadi rantai yang mengikat pola masyarakat Indonesia. Saat gempa di Jogja tahun 2006, saya ingat rumah nenek yang berarsitektur Joglo sama sekali tidak runtuh sementara rumah beton tembok runtuh hancur.
Dari sini kita sudah bisa menilai bahwa nenek moyang kita dulu sebenarnya sudah memberikan pelajaran bahwa untuk hidup di negeri ini harus menyesuaikan diri.
Rumah-rumah adat kita sebenarnya didesain untuk menghadapi gejala alam seperti Joglo, Gadang, Rumah Panggung Sunda dll. Lalu kenapa kita tidak meniru atau memodifikasinya namun dengan prinsip sama.
Lihat sekarang banyak rumah-rumah murah dibangun dengan bahan seadanya asalakan developer untung. Posibilitas hancur saat gejala tektonik pasti besar. Memang ironi sekali, semua balik lagi ke sistem negara ini.
Bahan-bahan bangunan dan harga tanah mahal maka jalan terakhir adalah mengurangi kualitas bahan yang penting rumah jadi.
Beberapa waktu lalu saya lihat juga salah satu akun medsos pemerintah yang mengajak tentang pentingnya segera pendidikan mitigasi bencana. Lah apakah pemerintah tidak tahu bahwa dalam kurikulum geografi ada materi mitigasi bencana. Semua tinggal aplikasikan, kontekstual mengapa membuat statement demikian?.
Saya sebagai guru geografi tentu merasa ada yang aneh dan memang nampaknya pemerintah tidak tahu sama sekali isi kurikulumnya sendiri. Kalau kata geograf senior T. Bachtiar mitigasi Indonesia itu anget-anget tai ayam.
Fenomena alam akan terus terjadi dan tidak bisa diprediksi dan masyarakat Indonesia harus sadar tentang hal tersebut. Kita memang sudah terkunci dalam sistem pemerintahan model seperti ini, tapi paling tidak pemerintah harus berbenah jika tidak ingin korban semakin banyak di kemudian hari.
Tapi maaf saja kalau saya mash pesimis melihat pola yang terjadi dari tahun ke tahun. Kok pesimis sih? Ya boleh dong, itu kan hak saya. Ini kan negara hukum, bebas berpendapat toh?.
Terakhir tepat di penghujung tahun 2018 longsor terjadi di Sukabumi Jawa Barat dan melenyapkan puluhan rumah, sampai saat ini proses evakuasi masih dilakukan.
Beberapa minggu dan bulan ke belakang fenomena alam terjadi mulai dari gempa di Lombok, gempa dan tsunami di Palu sampai tsunami di Anyer.
Semua kejadian tersebut memakan korban jiwa yang tidak bisa dibilang sedikit, ditambah lagi infrastruktur yang luluh lantah. Kerugian pasti triliunan rupiah dan perlu beberapa tahun untuk rekonstruksi.
Lalu bagaimana sebenarnya mitigasi bencana di negara kita?. Saya kira sampai saat ini istilah tersebut hanya sebatas slogan saja. Coba pas tsunami di Anyer kemarin, tidak ada sama sekali sirene peringatan tsunami dan orang-orang tentu tidak tahu apa yang akan terjadi.
Lantas setelah itu pihak terkait memberikan pernyataan bahwa memang alat pendeteksi tsunami dicuri/rusak lah/tidak punya alat deteksi tsunami akibat vulkanik. Pernyataan tersebut sudah menandakan bahwa Indonesia sudah gagal secara masif dan sistemik dalam mitigasi bencana.
Kita terlena dengan megahnya pembangunan infrastruktur ekonomi, bisnis namun untuk urusan nyawa kita abai. Takdir kita berada di Ring of Fire lalu mengapa hal tersebut diabaikan?. Dari sisi manajemen ruang, masih banyak lokasi rawan bencana tapi dibangun tidak sesuai peruntukan.
Okelah kalau memang itu buat bisnis, ekonomi tapi solusinya kenapa tidak diberikan akses bagi masyarakat untuk menyelamatkan diri?. Tiga bencana geologi tahun 2018 sudah cukup bagi kita untuk introspeksi dalam hal memahami hakikat ruang Indonesia. Gambar: Republika
Shelter Tsunami Banten yang gagal menyelamatkan |
Mereka hanya memikirkan tentang bagaimana cara menyambung nyawa, ekonomi. Lagi-lagi kemiskinan menjadi rantai yang mengikat pola masyarakat Indonesia. Saat gempa di Jogja tahun 2006, saya ingat rumah nenek yang berarsitektur Joglo sama sekali tidak runtuh sementara rumah beton tembok runtuh hancur.
Dari sini kita sudah bisa menilai bahwa nenek moyang kita dulu sebenarnya sudah memberikan pelajaran bahwa untuk hidup di negeri ini harus menyesuaikan diri.
Rumah-rumah adat kita sebenarnya didesain untuk menghadapi gejala alam seperti Joglo, Gadang, Rumah Panggung Sunda dll. Lalu kenapa kita tidak meniru atau memodifikasinya namun dengan prinsip sama.
Lihat sekarang banyak rumah-rumah murah dibangun dengan bahan seadanya asalakan developer untung. Posibilitas hancur saat gejala tektonik pasti besar. Memang ironi sekali, semua balik lagi ke sistem negara ini.
Bahan-bahan bangunan dan harga tanah mahal maka jalan terakhir adalah mengurangi kualitas bahan yang penting rumah jadi.
Beberapa waktu lalu saya lihat juga salah satu akun medsos pemerintah yang mengajak tentang pentingnya segera pendidikan mitigasi bencana. Lah apakah pemerintah tidak tahu bahwa dalam kurikulum geografi ada materi mitigasi bencana. Semua tinggal aplikasikan, kontekstual mengapa membuat statement demikian?.
Saya sebagai guru geografi tentu merasa ada yang aneh dan memang nampaknya pemerintah tidak tahu sama sekali isi kurikulumnya sendiri. Kalau kata geograf senior T. Bachtiar mitigasi Indonesia itu anget-anget tai ayam.
Fenomena alam akan terus terjadi dan tidak bisa diprediksi dan masyarakat Indonesia harus sadar tentang hal tersebut. Kita memang sudah terkunci dalam sistem pemerintahan model seperti ini, tapi paling tidak pemerintah harus berbenah jika tidak ingin korban semakin banyak di kemudian hari.
Tapi maaf saja kalau saya mash pesimis melihat pola yang terjadi dari tahun ke tahun. Kok pesimis sih? Ya boleh dong, itu kan hak saya. Ini kan negara hukum, bebas berpendapat toh?.